HANTU NANCY
Kebon
Sawah dipaksa mengingat, pernah di salon itu, duduk di depan meja rias dan
menemukan bayanganmu sendiri artinya kamu akan segera ditangani. Nancy akan
menghampirimu, berdiri di belakangmu, embus napasnya lembut mencapai tengkukmu.
Setelah Nancy mati, Zulfikar masih duduk di sana, menunggu embus napas mencapai
tengkuknya sebab yakin gilirannya pasti.
Pasti
sebab pembantaian Nancy terlalu mengerikan, kematiannya terlalu keji. Lima
orang memberangusnya, mengikatnya di kursi tempat pelanggan salon biasanya
duduk. Dari kursi itu Nancy bisa menemukan bayangannya sendiri. Sehari-hari
cermin di hadapannya biasa memantulkan berangsur wajah para pelanggan menuju
kecantikan, malam itu berangsur wajahnya menuju kematian. Dua di antara lima
pemberangus mencukur rambutnya serampangan. Satu yang lain menyumpalkan
potongan-potongan rambut ke mulut Nancy dan satu terakhir sekadar menutup
hidungnya. Nancy sempat kelojotan, sebentar. Ketika rambut di kepalanya habis,
Nancy mampus. Bedah otopsi kemudian membuktikan bahwa Nancy kehabisan napas,
versi yang lebih simpatik akan lebih menggarisbawahi kemungkinan Nancy mati
karena tak sanggup melihat wajahnya sedemikan buruk. Tersumpal rambut, mulutnya
terbuka lebar, seperti terbahak. Rautnya merot-perot, matanya melotot, nyalang
dan ngeri. Zulfikar, pemberangus kelima, di pojokan, gemetaran. Melihat bangkai
Nancy, penyesalan Zulfikar tak tertanggungkan. Seribu kali kematiannya tak
mungkin impas mengganti sekali kematian Nancy.
Sesungguhnya
tak butuh penyelidik tangguh untuk membongkar kejahatan ini tapi di Kebon Sawah
beberapa kejahatan memang terjadi bukan untuk dipecahkan. Lupa selalu bisa
diandalkan, tak pernah mengecewakan. Untunglah, bisik-bisik hantu Nancy
terembus.
Ada
tidaknya hantu Nancy akan tetap menjadi misteri sampai akhir cerita ini,
terutama karena semua orang yang pernah bertemu dengannya tak lagi bisa
ditanyai. Satu hal yang bisa dipastikan, beberapa orang telah dibunuh menyusul
Nancy. Untuk mengikis sebagian penasaran, ada baiknya kita mulai dari suatu
Rabu sore, tepat sebelum kemunculan pertama hantu Nancy.
***
Hampir
seminggu setelah Nancy dibunuh, hampir seminggu pula Zulfikar menghilang.
Sulaiman Badik menyuruh Ahmad Senin mencarinya, santun memerintahkan agar Senin
mencari tahu apakah Zulfikar sedang sakit atau membutuhkan sesuatu. Senin
berjalan ke rumah Zulfikar bersiap menemukan keadaan terburuk dan bertindak.
Zulfikar
bukan anggota komplotan Leman Badik. Ia kelas teri, nyalinya tipis,
kejahatannya paling cuma maling. Hanya karena Zulfikar pelanggan setia salon
Nancy, ia diajak serta. Kuda troya, kata Leman, apa pun itu artinya. Anak buah
Leman sejak awal bersiaga, siap menutup mulut Zulfikar kalau-kalau mentalnya
kecut.
Ditemukan
di rumah ibunya, Zulfikar jongkok di dekat sumur, memandangi cacing tanah. Ketika
Senin ikut jongkok dan mengajak bicara, ia menyahut dengan kalimat yang
tampaknya disusun tanpa akal sehat.
”Ini
tadi cacing ini tadi mati tadi, Nin.”
Kalimat
berikutnya, setelah jeda cukup lama, melompat.
”Senin,
lu punya duit? Gua mau cukur,” satu tangannya memainkan ujung rambut
panjangnya, sebelum mendadak menadah seperti pengemis. Senin, mungkin iba,
merogoh kantongnya lalu menyorongkan selembar lima ribuan.
Zulfikar
melipat uang itu dengan riang. Setengah bergurau, Senin bertanya di mana
Zulfikar bercukur, mengingat Nancy sudah mati.
Wajah
girang Zulfikar tiba-tiba lenyap.
”Nancy
mati, Nin?” Zulfikar terlihat sungguh-sungguh, tawa Senin hampir meledak. Senin
memutuskan mengangguk. Senin tahu jenis orang yang mudah patah, dan Zulfikar
pastilah salah satunya. Setengah iba, ia menyimpulkan bahwa Zulfikar tak
berbahaya, seperti potongan cacing di depan mereka.
Setelah
menepuk-nepuk punggung Zulfikar, Senin beranjak. Sempat membatin laporan untuk
bosnya, langkah Senin terhenti begitu mendengar kalimat Zulfikar kemudian.
”Kasihan
pembunuh-pembunuh Nancy itu, Nin.”
Membalik
badan, Senin bertanya kenapa.
”Aku
mimpi ketemu Nancy. Dia bilang mau balas dendam.”
Wajah
Zulfikar begitu serius namun malah begitu tolol. Pertahanan Senin jebol, ia
tertawa sampai tersedak.
Besok
paginya, setelah semalaman menertawai kegilaan Zulfikar bersama komplotannya,
Senin ditemukan di kamar yang terkunci dari dalam. Mati tersumpal rambut, ia
melotot.
***
Hampir
genap empat minggu setelah kematian Nancy, Rabu selepas maghrib, Leman Badik
duduk di pinggir kolam ikan di belakang rumah Sudirja, Lurah Kebon Sawah. Sudah
tiga anak buah Leman mati berturut-turut, tiga Rabu malam terakhir. Sudirja di
telepon tadi siang gagal menyembunyikan gelisah suaranya.
Leman
Badik selalu mengira ketakutan ampuh menggerogoti sembarang orang, selain
Sudirja. Duduk di sisinya, menghadapi pancing tanpa umpan, Sudirja tampak
kosong, lemah. Lima minggu yang lalu, persis di tempat yang sama, Sudirja
memerintahkan padanya untuk menghabisi Nancy. Saat itu suara majikannya pelan
namun penuh percaya diri. Menyingkirkan perasaan cinta yang mendalam pada
Nancy, raut Sudirja tak terlihat sedikit pun gundah.
Leman
telah menjadi tukang pukul Sudirja sejak sepuluh tahun terakhir, menyaksikan
berbagai kebusukan tuan tanah itu. Sejak tiga tahun yang lalu, gara-gara Nancy,
untuk pertama kalinya Sudirja terjebak selangkangannya sendiri. Nancy seperti
tahu sudut-sudut Sudirja yang paling lemah, mengolahnya, meracuninya,
membuatnya ketagihan, kesetanan.
”Saya
gak percaya ini kerjaan setan,” cetus Leman, menyergah pikirannya sendiri.
Persis
ketika Leman mengucap ”setan”, pancing di tangan Sudirja lepas. Leman mencium
kerusakan yang parah, jenis yang tak mungkin terobati. Tercetus dalam
pikirannya, waktunya tak lama lagi untuk mencari majikan pengganti.
Sejurus
kemudian keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menekuni pembunuhan
beruntun lima minggu belakangan, arah pikiran keduanya tak beririsan. Leman
percaya ini perbuatan manusia, kemungkinan besar musuh-musuh di pemilihan lurah
tahun lalu, sekurangnya-kurangnya karena dua alasan: pertama, karena ini
dipastikan oleh dukun langganannya dan, kedua, dukun itu tak pernah
mengecewakannya. Sementara itu, pikiran Sudirja dipenuhi Nancy berkepala gundul
dengan mata melotot dan mulut dipenuhi rambut yang datang setiap Rabu malam.
Nancy akan mencapai dirinya, tak lama lagi.
Pertengkaran
terakhir keduanya terngiang. Saat itu, Sudirja tegas menolak permintaan Nancy.
Kekasihnya itu mengancam membeberkan hubungan gelap mereka, biar orang kampung
tahu siapa Lurah Sudirja sesungguhnya. Sudirja mengancam akan menghabisi Nancy,
menegaskan bahwa cara semacam itu bukan pula yang pertama untuknya. Nancy balas
menantang, mengancam akan bangkit dari kubur dan membalas dendam jika ia
benar-benar dibunuh.
Mencintai
Nancy justru karena apa adanya, tak kurang tak lebih, Sudirja tak mungkin
mengubah keputusannya. Mengabulkan permintaan itu sama dengan kehilangan Nancy
selamanya, sama dengan membunuhnya. Sudirja ingat, saat itu ia sekadar
melakukan yang biasanya ia lakukan jika merasa terdesak. Kini Rabu malam
menjelang dan Sudirja menyesal sekadar menganggap angin ancaman Nancy. Semua
sudah terlambat, ia yakin kematiannya sudah dekat.
Dari
tempat duduknya, Leman bisa mencium ketakutan majikannya tapi bergeming. Malam
nanti hantu Nancy bahkan boleh saja datang untuknya. Silakan. Anak buahnya
tolol, kalah sebelum perang, itulah alasan kematian mereka. Hantu Nancy
hanyalah akal-akalan manusia.
Tak
diketahui apakah sempat Leman melawan dengan gagah. Esok paginya, ia ditemukan
mati melotot melihat ngeri.
***
Dua
malam Rabu setelah Leman, hantu Nancy mengambil dua lagi. Warga kampung mulai
terbuka matanya, setelah Supriningsih, istri lurah, mati, dan lalu berani
mengambil kesimpulan, setelah seminggu berikutnya giliran Sudirja. Bisik-bisik
bahwa Lurah Kebon Sawah berhubungan gelap dengan Nancy, sekalipun sempat susah
masuk akal, kini sulit dibantah lagi. Sudirja mati melotot dengan mulut
tersumpal rambut, seperti istrinya, seperti seluruh komplotan Leman. Semuanya
pastilah berhubungan.
Orang-orang
berpikiran paling jernih di Kebon Sawah saling menggenapkan dugaan
masing-masing, menyimpulkan bahwa latar pembunuhan Nancy adalah kecemburuan
istri Sudirja dan atau ancaman buka mulut Nancy. Kedua latar ini mendorong Sudirja
bertindak sedemikian keji. Menurut musuh-musuhnya, kekejian semacam ini bukan
yang pertama bagi Sudirja. Mengenai betul tidaknya bisik-bisik bahwa pelaku
balas dendam Nancy adalah arwah penasaran, tetua kampung menganjurkan warga
mendekatkan diri pada Tuhan. Anjuran ini tak terlalu menenteramkan, terutama
karena sudah setiap malam dalam enam minggu terakhir ini warga bertahlil dan
dalam mengaji Yasin sebagian telah kehilangan kekhusyukan.
Sekalipun
kesimpulan sudah diambil, tak satu pun warga memperkirakan bahwa dibutuhkan
satu kematian lagi sebelum keadaan kembali tenang dan lupa mulai bisa
diamalkan.
***
Rabu
malam ketujuh setelah kematian Nancy, pintu salon miliknya dibuka paksa.
Keadaan remang dan angker tak mencegah Zulfikar menemukan kursi di depan cermin
di mana Nancy melihat dirinya sendiri terakhir kali.
Zulfikar
duduk di kursi, dan berkat lampu jalan yang menerobos masuk ke salon itu, ia
bisa menemukan bayangannya sendiri. Zulfikar menunggu.
Sebentar
kemudian, penantiannya berakhir. Di cermin itu kini bisa ia lihat, Nancy
berdiri di belakangnya.
Sejak
mati Nancy semakin cantik, bukan setan gundul melotot dengan mulut tersumpal
rambut seperti perkiraan orang. Rambutnya utuh, hitam tergerai panjang dan
lebat, sangat terawat, persis sebagaimana yang Zulfikar ingat. Matanya tenang,
menatap Zulfikar penuh sayang. Pakaiannya tipis menerawang. Zulfikar melihat ke
dada Nancy dan terharu, sekali lagi. Kematian telah memberikan pada Nancy apa
yang hanya bisa ia impikan semasa hidup. Sepasang dada yang mengkal, bukan
tambalan potongan gombal. Wajah Nancy demikian halus dan cantik. Seperti
janjinya pada Zulfikar dulu, jika operasi penanaman payudaranya berhasil, Nancy
akan membiarkan kumis dan cambangnya tumbuh dengan anggun. Sungguh Zulfikar tak
pernah mengira sedikit pun bahwa kumis dan cambang bisa membuat seseorang
demikian cantik.
Zulfikar
berandai-andai, jika saja Sudirja bisa menghargai kecantikan yang diangankan
Nancy, tak sulit mengabulkan permintaannya. Sayang, lurah itu kuno. Zulfikar
terus berandai-andai, jika saja ia kaya, bukan maling sekadarnya, tentu lain
cerita. Terus ia menatapi Nancy di cermin, terus tak berhenti jatuh cinta lebih
dari sebelumnya.
Zulfikar
ingin bersuara tapi lidahnya kelu. Ia selalu ingin menjelaskan semuanya, kenapa
ia mau jadi kaki tangan Leman, kenapa ia terlibat pembunuhan orang yang paling
dicintainya. Zulfikar selalu urung karena ia yakin Nancy tak akan mengerti.
Nancy tak akan bisa menakar cinta Zulfikar, betapa dalam sehingga jika ia tak
bisa mendapatkan Nancy, tak seorang pun boleh bisa. Nancy demikian cantik. Jika
Sudirja tak mewujudkan keinginannya, masih banyak orang kaya yang bisa.
Di
cermin, Nancy tersenyum padanya. Zulfikar tahu saatnya sudah dekat. Ia telah
mematuhi seluruh perintah Nancy tapi masih ada satu lagi. Dengan tenang,
Zulfikar mulai memotong rambutnya sendiri, meletakkan potongan-potongan rambut
itu di pangkuannya. Senyum Nancy semakin mengembang, menyemangatinya. Tak
berapa lama rambut di kepalanya mulai tercukur habis.
Ia
melihat ke pangkuannya sendiri, puas dengan hasil kerjanya. Menatap ke arah
bayangan Nancy penuh pembuktian diri, satu tangan Zulfikar mulai memasukkan
rambut-rambut itu ke dalam mulutnya, satu tangan yang lain ia gunakan menutup
hidungnya. Nancy tersenyum, semakin cantik.
***
Butuh
waktu lama agar Kebon Sawah lupa. Dua tahun setelah kematian Nancy, tak satu
pun salon baru berdiri. Warga harus pergi ke kampung sebelah atau ke pusat kota
untuk bercukur dan didandani. Kerepotan kecil ini memaksa mereka mengingat
delapan kematian beruntun di Kebon Sawah.
Warga
masih terbelah sikap, sekalipun polisi sudah berusaha menenangkan, mengatakan
bahwa Zulfikarlah pelaku di balik kematian enam orang, sebagaimana ditunjukkan
jejak sidik jarinya, sebelum akhirnya bunuh diri. Sulit memaksa warga mendapatkan
tenang, bukan semata-mata karena pembunuhan Nancy tak pernah terungkap terang.
Mayat Zulfikar, setelah lenyap saat disemayamkan di masjid, sampai sekarang tak
pernah ditemukan.
Dua
bulan yang lalu seseorang bernama Siska datang, mendirikan salon persis di
bekas salon Nancy. Mula-mula tak seorang pun mengunjunginya. Keadaan mulai
berubah sejak Siska berjanji untuk membakar semua rambut yang dipotongnya.
Tetua kampung, sekalipun sempat khawatir dengan kedatangan Siska, urung cemas
begitu melihat pemilik salon itu. Berbeda dengan Nancy yang cantik, Siska
berwajah buruk, lipstik merah di bibirnya dikelilingi kumis dan janggut.
Keburukan itu, anehnya, tak sempat mengingatkan mereka pada wajah seseorang
yang demikian akrab. Di balik celemong make-up dan semrawut cambangnya, mudah
didapati betapa wajah Siska begitu mirip dengan Zulfikar.
Sampai
kisah ini dituliskan, tak seorang pun warga pernah menghubungkan kemiripan
keduanya, bahkan tidak juga pada sekadar obrolan ringan. Lupa rupa-rupanya
bukan suatu cara bertahan yang bisa diwujudkan sekenanya, gotong royong
dibutuhkan agar semuanya berjalan sesuai rencana.
Begitupun,
ingatan masih penasaran: mampirlah, di kampung itu kamu selalu bisa menghirup
bau rambut terbakar.
www.gunadarma.ac.id